Thursday, October 19, 2006

Di Balik Potret Metropolis Shanghai

Di Balik Potret Metropolis Shanghai

Shanghai memang kota metropolis yang kental dengan perpaduan kultur barat dan timur. Bahkan, sebagian kalangan menganggap Shanghai sebagai wajah dari “Eropa”-nya Asia. Benarkah demikian? Berikut laporan Jurnalis Majalah Male Emporium (ME) yang sempat beberapa hari melanglang buana di Shanghai, China.

Oleh : Iwan Suci Jatmiko


Perjalanan ke Shanghai kali ini memang yang pertama. Saya harus menghabiskan waktu sekitar delapan jam perjalanan menuju Shanghai. Perjalanan saya ke Shanghai sekaligus memenuhi undangan peliputan dari Indonesia Inc. Racing Team (IIRT) di ajang Asian Formula Renault dan China Formula Campus.
Rombongan saya meninggalkan bandara Internasional Soekarno Hatta sekitar 22.20. Penerbangan kami tak langsung menuju Shanghai. Sekitar 2 jam penerbangan, kami harus transit di Bandara Internasional Changi, Singapura. Saya memiliki waktu sekitar satu jam untuk melepas lelah di bandara.
Rasa lelah saya lumayan terobati dengan pemandangan di Bandara Changi. Settingnya sangat modern dan nyaman. Fasilitas seperti toserba dan kafe-kafe menambah nilai plus bagi bandara ini. Belum lagi fasilitas internet gratis yang tersebar di beberapa titik bandara. Bahkan, disediakan pula tur gratis kunjungan obyek wisata di Singapura bagi para penumpang yang waktu transit mencapai enam jam. Setelah puas berkeliling di Bandara Changi, akhirnya saya pun harus meneruskan penerbangan menuju Shanghai.
Rasa bosan menyelimuti saya selama penerbangan. Maklum, perjalanan kali ini adalah penerbangan terlama yang pernah saya alami. Selama enam jam mata saya terbuka seakan enggan untuk terpejam. Akhirnya, setelah berjam-jam terbunuh bosan, kaki saya pun melangkah untuk yang pertama kalinya di Negeri China. Saya tiba di Shanghai Pudong International Airport (SPIA) sekitar pukul 07.20 waktu setempat (satu jam lebih cepat dari Waktu Indonesia Bagian Barat-WIB).
Di SPIA telah menunggu penjemput kami bernama John. Mantan warga negara Indonesia yang telah menetap di China selama kurun waktu delapan tahun. Pria ramah bertubuh gempal ini langsung menyambut rombongan kami dan memberikan sedikit gambaran tentang Shanghai. Namun, alangkah kagetnya saya ketika mendengar harus berhati-hati dengan barang bawaan. Pasalnya, menurut John, banyak copet yang mampu menguntil barang bawaan di saat lengah. Sejak saat itu rombongan kami selalu berhati-hati dengan barang bawaan kami.
Setting SPIA memang tak sebagus Bandara Changi atau Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Namun, kebersihan SPIA patut diacungi jempol. Nuansa minimalis dan dominasi putih menyelimuti SPIA. Tak lama kemudian, bis yang mengantar kami tiba dan langsung melesat ke hotel Ying Yuan. Sebuah hotel yang letaknya di pinggiran Shanghai. Maklum, kami sengaja menginap di hotel tersebut agar dekat dengan lokasi sirkuit tempat putera-puteri bangsa berlaga.
Lama perjalanan dari airport ke kota jika menggunakan kendaraan memakan waktu 45 menit. Sedangkan jika digabungkan ke hotel tujuan kami dekat sirkuit ditambah 45 menit lagi. Total perjalanan kami sekitar 1,5 jam. Namun, menurut John, para pengunjung yang datang ke Shanghai bisa menumpang taksi menuju kota. Biaya tarifnya pun cukup unik. Jika anda naik taksi di pagi hari, tarifnya sekitar 130 Yuan. Sedangkan jika di malam hari bisa mencapai 200 Yuan.
Selain taksi, anda juga menumpang shuttle bus dengan tarif antara 12-20 yuan. Namun, anda juga bisa merasakan sensasi kereta cepat, Maglev dari bandara menuju kota. Kereta ini mampu melesat dengan kecepatan mencapai 430 km/jam. Alhasil, jarak waktu yang ditempuh dari bandara ke kota hanya sekitar 8 menit. Tarifnya hanya 40 Yuan jika anda menunjukkan tiket pesawat. Sedangkan bagi yang tidak memiliki tiket pesawat harus membayar 50 Yuan. Melihat kereta itu, saya jadi teringat KRL jabotabek yang jauh dari canggih. Sungguh...bagai langit dengan bumi...
Kendala Bahasa
Saya datang ke Shanghai pas di waktu musim panas. Suhunya saat itu mencapai 38 derajat Celcius. Terik matahari lebih menyengat ketimbang suhu di Jakarta. Saat tiba di hotel, betapa kagetnya saya ketika bahasa menjadi kendala utama dalam percakapan kami. Para pegawai hotel bintang empat itu tak semuanya lancar berbahasa Inggris. Bahkan, hanya bagian front desk saja yang bisa berbahasa Inggris, walau sedikit terbata-bata. Sisanya, sama sekali tidak menguasai bahasa Inggris sedikit pun.
Ternyata, menurut John, bangsa China memang tak mampu menguasai bahasa Inggris sehebat bangsa Indonesia. “Mungkin karena lidah mereka yang sulit untuk beradaptasi, sehingga mempelajari bahasa Inggris cukup sulit dan lambat,” kata John.
Setelah beberapa menit melepas lelah di hotel, saya langsung menuju ke restoran terdekat. Maklum, usus perut saya seakan berteriak menagih asupan makanan. Bagi anda kaum muslim disarankan berhati-hati dalam memilih makan di china, khususnya Shanghai. Pasalnya, dominasi daging babi hampir mencakup seluruh jenis makanan. Mulai, mie goreng, nasi goreng, risoles, sandwich, dan lain-lain.
Beruntung John peka dengan kehadiran kami yang mayoritas muslim. Kami pun diajak menyantap makanan di sebuah restoran muslim beberapa puluh meter dari hotel tempat kami menginap. Restoran itu memang jauh dari mewah, tapi setidaknya saya tidak perlu khawatir salah makan daging babi.
Saya memesan mie tarik seharga 7 Yuan dan daging sapi seharga 12 yuan. Harganya relatif murah, tapi proses pembuatannya cukup higienis dan unik. Mie tersebut dibuat di depan mata pengunjung mulai dari bentuk adonan hingga untaian mie yang ditarik di antara sela-sela jari. Rasanya pun lumayan dan tak asing bagi lidah saya. Yang membuat saya kaget adalah porsinya yang cukup raksasa. “Memang itu adalah porsi umum bagi kaum di sini,” kata John. Saya jadi bertanya dalam hati. Kenapa porsi makanan yang begitu banyak, namun bangsa China tetap memiliki perawakan kecil? Saya jadi tertawa dalam hati. Tapi sudahlah...hormon tiap manusia mungkin berbeda.
Setelah dua hari berkutat di hotel dan sirkuit Shanghai. Akhirnya ajang adu adrenalin itu pun berakhir dan kami memutuskan untuk pindah tempat menginap di pusat kota. Beruntung seluruh rombongan saya mendapatkan kamar di New Harbour Apartment yang terletak di daerah Jin Ling Lu Road. Tempat menginap yang lumayan bagus dan cukup sulit mendapatkan kamar di akhir pekan.
Metropolis dan sisi lain Shanghai
Setibanya di pusat kota Shanghai, saya tak langsung menyia-nyiakan waktu untuk menjelajah lika-liku kota. Memang potret pusat kota Shanghai begitu metropolis dan kental dengan pengaruh barat. Fasilitasnya pun cukup modern dan mengagumkan. Kilau lampu-lampu bangunan yang membanjiri langit seakan larut dan menyinari tiap langkah saya.
Uniknya, gedung-gedung di Shanghai rapat dengan jalan raya. Toko-toko di pinggir jalan mirip pecinan di bilangan Kota atau Glodok. Bangunannya pun menjulang tinggi mencakar langit seakan menunjukkan kota Shanghai merupakan kota yang paling metropolis modern di China.
Kendati demikian, lalu lintas di pusat kota seakan membawa saya kembali ke Jakarta. Saat saya tur di pusat kota, saya kembali terjebat macet akibat penuhnya populasi manusia dan kendaraan. Menurut John, jumlah populasi di Shanghai mencapai 20 juta orang. 13 juta di antaranya merupakan kaum pendatang.
Satu yang menarik adalah peraturan lalu lintas yang tak mengharuskan pengendara sepeda motor tidak mewajibkan penggunaan helm. Bahkan, jumlah sepeda mulai yang dikayuh hingga sepeda listrik seakan membanjiri kota. Di tiap sisi banyak dijumpai masyarakat yang melakukan aktivitasnya dengan sepeda. Bahkan, disediakan pula lahan khusus parkir sepeda dengan tiket dan khusus di titik tertentu. Mulai perkantoran, pasar tradisional hingga pasar swalayan.
Fenomena itu menggiring saya ke situasi crowded dan membuka mata saya terhadap kemolekan Shanghai. Ternyata, di balik sisi glamour kota Shanghai masih juga menyimpan cerita kota yang katanya metropolis ini. Banyak warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di antara mereka banyak yang tinggal di kolong jembatan dan di pinggiran toko.
Menurut John, biaya hidup di Shanghai relatif tinggi. Harga rumah dan sewa tempat tinggal di Shanghai cukup mahal. Saking mahalnya tempat sewa, beberapa di antaranya ada yang rela menyewa tempat yang harganya murah namun tidak ada kamar mandinya. Sedangkan untuk mandi mereka harus membayar sebesar 3 Yuan. Alhasil, banyak dari mereka yang hanya mandi beberapa kali sehari atau bahkan mandi dengan air seadanya.
Saya sungguh terkejut ketika melihat seorang pria keluar dari sebuah tempat dengan membawa sebuah baskom namun hanya mengenakan celana dalam dan busa. Ternyata, pria tersebut mandi hanya dengan membasuh tubuhnya dengan air seadanya tanpa menggunakan sabun.
Sirna sudah asumsi saya tentang potret kota Shanghai yang begitu metropolis. Ada sedikit hal yang mengganjal di hati saya tentang peradaban China yang katanya maju itu. Warga di Shanghai seakan acuh terhadap lingkungan sekitar. Pasalnya, mereka meludah sembarangan. Tidak tanggung-tanggung, mereka meludah di dalam restoran, mall, bahkan di hadapan orang yang berada di dekatnya dengan menarik dalam-dalam dahak di tenggorokan mereka. Sungguh perilaku yang jorok.
Trik Menawar Saat Belanja
Selama empat hari di Shangai saya memang dibuat terkagum-kagum dengan kemajuan China dan inovasi dalam teknologinya. Mulai dari kendaraan dan pra sarana umum. Di samping sisi jorok yang mereka adaptasi, hampir setiap orang saya perhatikan menggunakan busana yang cenderung mengikuti trend perkembangan zaman. Memang pengaruh budaya barat lebih kental terasa di Shanghai. Indikasinya terlihat dari perilaku mereka yang bebas berciuman di muka umum. Mereka seakan tak peduli saat bermesraan kendati berada di lokasi terbuka.
Saya sempat mendatangi toko-toko di bilangan He’nan Road. Di tempat ini setting tokonya tak jauh beda dengan Glodok atau ITC Cempaka Mas atau sejenisnya. Toko-tokonya saling berhimpitan dan penuh sesak. Di tempat ini anda harus pandai menawar agar tidak kejeblos harga mahal. Apalagi jika sang pedagang tahu bahwa anda seorang turis.
Saya coba membeli sebuah sepatu kulit. Saya pun kaget dengan harga yang ditawarkan si pedagang, yaitu 700 Yuan. Gila...saya berkata sendiri dalam batin. Dengan memberanikan diri saya menawar sepatu itu seharga 100 Yuan. Si pedagang langsung berbahasa China dengan mimik yang menunjukkan bahwa tawaran saya terlalu rendah. Setelah proses tawar-menawar yang cukup alot, ternyata saya bisa membeli sepatu itu dengan harga 150 Yuan. Sungguh jauh di bawah harga yang ditawarkan sang pedagang awalnya.
Dari sinilah saya selalu beranggapan jangan menawar harga setengahnya, melainkan seperempat atau bahkan seperlima dari harga yang ditawarkan pedagang awalnya. Memang teori saya ini sifatnya untung-untungan. Tak jarang saya harus mengalami pengusiran dari si pedagang karena harga yang saya berikan terlalu murah.
Inilah bedanya pedagang di Shanghai, dengan pedagang Indonesia. Para pedagang di Shanghai tak segan-segan mengusir pelanggannya jika harga yang ditawarkan terlalu murah. Mereka tak sungkan berkata “No...no...you go a way!,” kata si pedagang dengan reaksi tangan yang mengibas-ibas pertanda anda diusir. Sungguh teknik berdagang yang tak sopan!
Nanjing Road merupakan area yang paling dikenal sebagai jalan utama sebagai tempat tujuan berbelanja. Di jalan ini banyak pusat-pusat perbelanjaan besar dan modern dengan plaza khusus bagi pejalan kaki. Namun, kenyamanan saya saat itu sungguh terganggu dengan para calon yang menawarkan barang-barang black market. Mereka menawarkan produk-produk tersebut dengan bermodalkan brosur dan foto-foto.
Teknik mereka pun sungguh menjengkelkan. Seems they don’t accept no for an answer! Lepas dari calo satu, calo yang lain pun kerap menghampiri saya. Mereka tak segan mengikuti saya dengan menjelaskan produk yang mereka tawarkan dengan bahasa China, hingga puluhan meter. Kesal dengan perilaku mereka, akhirnya saya bersikap acuh dan tak menanggapi ocehan mereka.
Menariknya adalah ketika saya mengunjungi Hen-Shang Road. Di tempat ini seakan memori saya kembali ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Di tiap sisi jalan ini banyak terdapat bar, tempat karaoke, lounge, tea house, restoran, dan diskotik. Di sini saya tak lagi melihat orang meludah sembarangan atau calo-calo menjengkelkan. Maklum, rata-rata pengunjung di area itu merupakan turis asing.
Para calo barang dan pengemis memang tak berani menunjukkan batang hidungnya. Pasalnya, menurut John, para calo atau pengemis sangat takut terhadap aparat penegak hukum. Benar saja, petugas keamanan memang disiagakan mulai dari patroli motor, hingga yang menggunakan sepeda. Toko-toko di sepanjang jalan ini ditata rapi dan unik. Selintas, mirip jalan-jalan di kota kecil Eropa, namun lebih modern. Bangunan modern lain yang menjadi kebanggan Shangai adalah menara TV Shanghai yang tingginya mencapai hampir 500 meter. Di tempat ini kita bisa memandang horizon Shanghai secara keseluruhan.Ada awal dan ada akhir. Selama empat hari saya berkutat di Shangai, akhirnya saya harus kembali ke Tanah Air. Beruntung saya mendapat penerbangan pagi. Artinya saya tiba di Bandara Soekarno Hatta sore hari. Shanghai memang menawarkan potret kota yang metropolis dan modern. Namun, potret buram kehidupan warganya masih menjadi warna tersendiri. Sama halnya dengan Jakarta, di antara gedung-gedung yang menjlang tinggi, masih terdapat kawasan kumuh di sekitarnya. Selamat tinggal Shanghai...

No comments: